HOME, NEWS  

Pakar Pidana: Joko Tjandra Harus Hadir di Sidang Permohonan PK

Berita ini diberdayakan untuk tempo.co
Oleh; Tempo.co

© Copyright (c) 2016 TEMPO.CO foto

TEMPO.CO, Jakarta – Pakar hukum pidana Universitas Indonesia, Gandjar Laksmana Bonaprapta, mengatakan bahwa buron kasus pengalihan hak tagih (cessie) Bank Bali, Joko Tjandra, harus hadir dalam sidang pengajuan peninjauan kembali (PK). “Bila pemohon tidak hadir, permohonan wajib ditolak,” kata Gandjar kepada Tempo, Jumat, 3 Juli 2020.

Gandjar mengatakan, mengacu pada ketentuan, Mahkamah Agung mengharuskan pemohon hadir dan tidak bisa diwakili. Ketentuan itu tertuang dalam Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana.

Pada Pasal 265 ayat (2) KUHAP tertulis bahwa dalam pemeriksaan permintaan peninjauan kembali, pemohon dan jaksa ikut hadir dan dapat menyampaikan pendapatnya.

Surat Edaran Mahkamah Agung Nomor 01 Tahun 2012 menyebutkan, berdasarkan Pasal 265 ayat (2) dan (3) KUHAP, permintaan PJK kepada MA hanya dapat diajukan oleh terpidana sendiri atau ahli warisnya.

“Permintaan PK yang diajukan oleh kuasa hukum terpidana tanpa dihadiri oleh terpidana harus dinyatakan tidak dapat diterima dan berkar perkaranya tidak dilanjutkan ke Mahkamah Agung,” demikian bunyi surat edaran yang ditandatangani Hatta Ali, Ketua MA saat itu.

Joko Tjandra seharusnya menjalani sidang pengajuan peninjauan kembali (PK) di Pengadilan Negeri Jakarta Selatan, pada Senin, 29 Juni 2020. Namun, sidang diundur pada 6 Juli karena Joko tak hadir dengan alasan sedang dirawat di rumah sakit di Kuala Lumpur, Malaysia.

Joko jadi buron dalam kasus pengalihan hak tagih (cessie) Bank Bali senilai Rp 904 miliar, yang ditangani Kejaksaan Agung. Pada 29 September 1999-Agustus 2000, Kejaksaan pernah menahan Joko.

Majelis hakim Pengadilan Negeri Jakarta Selatan memutuskan ia bebas dari tuntutan karena perbuatan itu bukan pidana, melainkan perdata.

Pada Oktober 2008, Kejaksaan mengajukan peninjauan kembali kasus Joko Tjandra ke Mahkamah Agung dan diterima. Tapi, sebelum dijebloskan ke bui, Joko kabur dari Indonesia ke Port Moresby pada 10 Juni 2009, sehari sebelum MA mengeluarkan putusan perkaranya.

%d blogger menyukai ini: