HOME, OPINI  

Ilham Q; Saya Merasa Perlu Merespon Status Anda

Oleh; Ilham Q Moehiddin bersama Mia Ariyana

@ Ilham Q Moehiddin

Saya membaca status saudara saya, Muhammad Endang SA. Lumayan panjang, walau tak sistematik dalam bayangan saya. Beberapa item terbaca hiperbolik dan menurut saya, kurang asupan informasi yang tepat. Tapi itu pun saya ragukan orang sekelas beliau itu tak mungkin kurang asupan informasi.

Sebagai Wakil Ketua DPRD Sultra dan salah seorang Forkopimda, saudara Endang bisa saja menanyakan langsung segala hal yang ingin Dia ketahui mengenai penanganan Covid-19 – kepada Juru Bicara Gugus Tugas Pencegahan, Pengendalian dan Penanganan Virus Corona Provinsi Sulawesi Tenggara (selanjutnya GT Prov). Bukan seolah memelas informasi itu di media sosial.

Beliau ini juga pasti tahu jalur yang tepat terkait informasi anggaran dan penganggaran di provinsi, termasuk mana anggaran yang seharusnya dibicarakan dengan Dewan dan mana yang tidak perlu. Bisa ditanyakan dengan mekanisme korespondensi atau pemanggilan. Semua bisa, hanya perlu niat saja.

Terkait penyebaran Covid-19 (selanjutnya covid) di Sultra, dibanding daerah lain di Indonesia, eskalasinya tidak separah seperti yang kita bayangkan. Sultra termasuk daerah yang terpapar Covid setelah enam pekan wabah ini menjalari Indonesia dan daerah ke Tiga di Sulawesi. Datanya pernah saya posting sebelumnya.

Hingga tulisan ini saya posting, jumlah ODC (orang dengan covid) di Sultra tercatat 14 orang, seorang sembuh dan seorang meninggal. Artinya, eskalasi covid di Sultra sedang dikendalikan – semua pihak bekerja sesuai tupoksinya.

GT Prov dan 17 GT kab. lain bahu membahu melawan pandemi ini. Bahkan kata Endang, DPRD Provinsi siap ketuk palu jika dibutuhkan. Publik juga saling menjaga dan memperingati, berbagai pihak berdonasi untuk saling meringankan beban hidup.

Sektor informal masih berjalan walau mulai dibatasi oleh kebijakan pemerintah. Publik juga masih beraktivitas, lihat saja instruksi walikota Kendari untuk berada di rumah saja – selama 3 hari, tidak dipatuhi sepenuhnya.

Di beberapa wilayah kota, aktivitas tetap berlangsung seperti biasa. Instruksi itu tidak berjalan efektif sebab penindakan oleh aparat keamanan tidak dilakukan sebagai terapi kejut. Pasar sempat membludak karena panik – sehari sebelum hari awal penetapan karantina mandiri 3 hari, yang juga segera dianulir walikota dengan pemberitahuan susulan.

Sebagai warga kota, saya senang dengan langkah walikota yang responsif itu tetapi ketidakmampuan dalam penindakan menjadikan proyeksi 3 hari kota Kendari dapat memutus rantai penyebaran covid – di luar harapan.

Kemarin itu, melihat kondisinya sebagai warga kota – Saya sempat marah sekali. Marah pada diri Saya, marah pada Pemkot, marah pada warga lain. Saya luapkan emosi dengan menyalahkan. Kemudian Saya tenang kembali. Tak apa-apa, semua terekam jelas di status Saya.

Namun, rangkaian peristiwa ini jelas menandakan sesuatu. Apa itu?

Ya, bahwa kita baik-baik saja. Publik yang rentan (anak dan manula) berdiam di rumah. Publik yang sehat, sebagian memilih tetap bekerja di luar rumah – tentu saja beresiko. Eskalasi penyebaran covid bisa dikendalikan sejauh ini, sampai kapan? Entah. Tapi ini akan terus bisa dikendalikan jika kita semua bersatu.

Semua pihak yang kompeten tidak saling menyalahkan dan fokus. Bantuan dari pemerintah pusat terus berdatangan, setahap demi setahap. Bantuan dari banyak lembaga filantropi juga ikut meringankan. Barangkali, tinggal gaji anggota DPRD yang “belum sampai” ke publik atau kepada GT di masing-masing wilayah. Jika mau disumbangkan, inilah saat yang tepat.

Saya ingin katakan, kecemasan yang sedang Kita alami hari ini di Sultra, sangat persis dengan kecemasan di provinsi lain di Indonesia bahkan boleh jadi di dunia.

Keresahan yang Anda sampaikan kepada GT Prov. sama persis dengan keresahan yang terjadi di DKI Jakarta dan kota-kota lain dengan angka ODC lebih banyak. Seriusnya, Anda “menohok” eksekutif sama persis dengan seriusnya anggota DPRD dan eksekutifnya di masing-masing provinsi.

Pemerintah pusat sedang fokus di daerah-daerah itu, sebab eskalasi covid di wilayah mereka lebih memprihatinkan. Kita maklumi saja, sudah sedemikian itulah seharusnya. Maka di wilayah-wilayah dengan eskalasi menengah dan kecil (seperti Sultra), penanganan covid masih dalam kewenangan penuh GT Provinsi dan GT 17 kab/kota.

Saya menulis ini, sebab sedikit banyak tahu yang sedang terjadi. Di beberapa momentum pertemuan Forkopimda, juga saya hadiri sebab – itulah tugas saya hari ini.

Tenaga medis kita di beberapa rumah sakit yang dijadikan rujukan covid (prov dan kota), pernah mengeluhkan kurangnya APD (hazmat suit). Kini APD itu sudah ada dan sifat pakainya yang berlimitasi, APD akan terus disiapkan.

Salah seorang dokter yang aktif mengurus pasien covid di RS Bahteramas itu, sahabat saya – dr. Teti Sudiro. Beliau jelas tak pernah pulang kerumah semenjak mulai mengurus pasien covid. Dia tenaga medis sekaligus seorang ibu dan Saya mengerti sekali perasaannya.

Tetapi kini, hazmat suit sudah ada berikut kelengkapan APD lainnya. Setahu Saya, ada tim kecil dokter yang juga terus mengawasi kondisi mereka. Tim yang mengatur jadwal tugas jaga agar tenaga medis di RS Bahteramas bisa bekerja dengan baik.

Lewat Kemenkeu, pemerintah pusat juga telah menganggarkan penambahan insentif (gaji, bonus, dll.) dan fasilitas bagi semua tenaga medis yang bertugas memerangi covid di seluruh Indonesia. Itu dari pemerintah pusat, lantas apa kontribusi pemprov/pemkab/pemkot pada jasa mereka? Tentu saja kebijakan pusat itu diikuti.

Secara praktik akan dilihat kemudian, namun semua itu telah direncanakan dan dianggarkan. Pemkot hari ini telah menjalin kerjasama sosial responsif dengan Hotel Zahra untuk dijadikan hotel transit bagi tenaga medis RS Kota Kèndari.

Menyusul Hotel Azizah yang juga sedang dipersiapkan untuk hotel transit bagi tenaga medis di RS Bahteramas. Saya tahu, kapan kerjasama itu diteken. Akun resmi GT Prov sudah memposting foto-fotonya.

Pembicaraan itu sudah berjalan bahkan sebelum Anda mengutarakannya di status Anda. Anda bisa kok memeriksa cadangan beras di Dolog Sultra – sangat cukup. Yang jadi masalah bukan stoknya tetapi harganya. Di pasaran harga beras dan jenis sembako lainnya masih lumayan stabil, yang tidak bisa dikendalikan adalah harga gula.

Saya malah berpikir, dari pada “ngomel” di medsos – tidakkah lebih bijak jika Anda dan institusi Anda bersama Forkopimda lain menyidak pasar dan mencari dalang penimbun gula yang menyebabkan harganya meroket.

Solusi gula ini tidak sekadar meminta Pemprov membeli gula Bulog dan membanjiri pasar dengan gula murah. Publik bukan tidak punya daya beli tetapi permainan harga ini harus dihentikan.

Jumlah dan kebutuhan pokok pekerja informal, fakir-miskin dan dhuafa lainnya tentu pula harus diringankan selama isolasi mandiri. Bahwa secara case per case, ini tidak merata – benar sekali. Dewan dan Pemerintah harus bisa kendalikan harga pasar.

Anggaran GT Prov untuk covid ini, 23 miliar dan baru terpakai 3 miliar. Menurut Kepala BPKAD, masih ada anggaran sekitar 300-500 miliar yang bisa di-refocusing untuk covid. Anggaran itu berasal dari PAD, DAU dan sisa SILPA. Jika digabungkan bisa mencapai 500 miliar.

Anggaran ini masih ada dan menunggu untuk di refocusing jika diperlukan. Anggaran ini bukan telah di-refocusing, belum. Itu dua kalimat yang berbeda. Sehingga keliru jika ada yang mempertanyakan bagaimana penggunaannya. Lah, bahkan belum digunakan, kok malah ditanyakan penggunaannya.

Seharusnya yang ditanyakan; kapan digunakan? Sisa 20 miliar anggaran covid di Diskes Provinsi saja belum habis, kok buru-buru hendak me-refocusing anggaran lain?

Jangan bikin publik berpikir aneh-aneh dengan niat “ingin buru-buru” itu tadi loh ya. Ada apa sih? Hahahaha

Setahu Saya, dana itu akan di-refocusing ke penanggulangan covid jika eskalasinya kian membesar. Gunanya, tidak akan jauh-jauh dari harapan Anda dan akan memback-up dana stimulan bantuan pusat terkait pengaman sosial dan pengaman ekonomi Nasional. Apakah Sultra sudah benar-benar membutuhkannya?

Saya sepakat dengan Pemerintah pusat, bahwa Sultra masih bisa menanganinya. Bahkan pusat belum memprioritaskan Sultra dalam waktu dekat untuk segera dikucuri dana stimulus itu. Daerah lain lebih perlu dan didahulukan. Itu artinya, Sultra masih dapat mengendalikan covid dengan sumberdaya sendiri.

Mengenai Rapid Diagnostic Test (RDT), saya kira keliru jika langsung menuduh bahwa alat-alat itu hanya digunakan atau digunakan pertama kali oleh staf Gubernuran. Sejak tiba, RDT itu sudah disebar ke kabupaten/kota, sehingga akhirnya diketahui sejumlah orang harus ditangani (PDP) atau diawasi (ODP). Lihat screenshot berita.

Bahkan teman-teman wartawan juga sudah menjalani tes dengan memanfaatkan alat – bantuan itu. Yang perlu Anda tegaskan ke pemerintah pusat adalah jumlahnya harus ditambah dalam waktu cepat, agar tes menyeluruh segera dilakukan. Bantuan RDT yang tiba di tahap pertama itu jumlahnya hanya 600 unit bersama 2.000 unit APD (hazmat dan masker).

Tak perlu memberi kesan bahwa walikota “bekerja sendiri”, mana ada yang begitu. GT Kendari dan 16 GT lainnya, berkoordinasi penuh dengan GT Prov. sehingga tak mungkin ada GT yang seolah bekerja sendiri. Fungsi GT Prov justru memastikan semua GT bekerja secara sistematis dan terarah.

Kebijakan apapun walikota Kendari terkait penanganan covid tak mungkin – tak dikonsolidasikan dengan GT Provinsi. Bukankah keluhan terbaru sudah Anda dengar sendiri, terkait alat tes swab yang harus melalui sertifikasi Kemenkes?

Lah iya, itu memang mekanismenya. Bahkan jika Pemda punya anggarannya pun, tidak bisa membeli sendiri ke produsen tanpa sepengetahuan Kemenkes. Ini kan Anda menjawab sendiri keraguan Anda terkait anggaran yang menunggu di-refocusing itu. Tak bisa asal beli atau beli sendiri hanya dengan alasan kita membutuhkannya.

Dua alat; RDT dan Swab Test itu, harus registrasi Kemenkes. APD (hazmat suit dan masker) boleh beli/diadakan sendiri. Seperti Jawa Tengah yang segera mengorganisir Perumdanya untuk membuat hazmat suit sendiri, Mereka bisa memproduksi hazmat 380 unit per hari.

Ganjar bilang, kita tahu kesulitan di pusat jadi jangan memperberatnya dengan mendesak. Kita produksi sendiri. Mereka juga mengerahkan banyak sekali perusahaan konveksi rumahan untuk memproduksi masker kain berstandar WHO untuk dibagikan gratis ke warga.

Sebab medik masker hanya diperuntukkan buat tenaga medis, stoknya terbatas dan harganya mahal. Warga yang mampu memesan dari luar negara, boleh melakukannya.

Maka tak tepat menjadikan Instruksi Gubernur Ali Mazi mengenai wajib menggunakan masker sebagai alasan menyudutkan kinerja GT Provinsi di lapangan bahkan yang sudah memiliki masker saja, tampak hanya menggantungkannya di leher – seolah itu hiasan.

Sebagai sesama Forkopimda, instruksi wajib masker itu dapat disambut berbagai pihak secara pro-aktif bahkan DPRD secara kelembagaan bisa menginisiasi pengadaannya dengan urun-rembuk. Bersama Pemprov bisa saja melalui GT mengadakan masker kain dalam jumlah ratusan ribu untuk dibagi gratis. Sangat bisa, ini hanya soal bagaimana mengelola isu dan solusinya.

Maaf Saudara, Kita harus bertegur sapa di media macam ini. Saya juga merasa perlu merespon status Anda agar publik bisa dicerahkan dengan membaca status kita berdua. Demikian.(***)

Editor; LM Arfan Nasiru

  • Artikel ini telah ditayangkan sebelumnya melalui FB Ilham Q Moehiddin

%d blogger menyukai ini: